Abstract
The world is facing a
crucial issue of climate change, which since 1992 is to be tackled through the
UN Framework of Convention on Climate Change. Its implementation till today
proves to be unsatisfactory. Conventional development has failed to cope with
climate change issues. The need emerges to follow a different path of
development: sustainable development embracing simultaneously economic, social
and environmental sustainability pursued on the low-carbon growth path to reach
for the Millennium Development Goals.
Indonesia is also committed
to sustainable development in accordance to the amended Constitution 1945 and
its derivatives that have been promulgated during the last decade. The
legislation of laws and regulations in Indonesia suffers however serious
institutional failures that has to be dealt with in the near future. A more appropriate
institution for legislation is called for to improve the effectiveness of
Indonesian law making in meeting the future challenges of the nation and the
globe as well.
PENDAHULUAN
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi
Bumi (Earth Summit) Juni 1992, di Rio de Janeiro, Brasil, para
pemimpin dunia anggota PBB sepakat menandatangani Konvensi Kerangka PBB tentang
Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change,
UNFCCC). Sebagai tindak lanjut dibentuk Conference of the Parties
(CoP) yakni konferensi wakil negara penanda-tanganan konvensi ini, yang
kemudian menyepakati Protokol Kyoto pada 11 Desember 1997 di Kyoto.
Inti isi Protokol ini bahwa
negara-negara industri sepakat agar emisi gas-gas rumah kaca seperti CO2,
CH4, N2O dan gas rumah kaca buatan manusia lainnya secara kesuluruhan
(dinyatakan dengan CO2 ekuivalen, CO2e) diturunkan dengan 5% dibawah tingkat
emisi tahun 1990 untuk dicapai dalam masa tahun 2000 – 2012. Menjelang
tahun 2005 hasil komitmen negara-negara industri sudah dapat ditunjukkan.
Mengapa sasaran penurunan emisi
ini penting, bagaimana pelaksanaannya, apa prospeknya di masa depan dan apa
peranan legislasi dalam mengusahakan usaha bersama menurunkan emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) ini ?
Emisi Gas Rumah Kaca
UNFCCC melaporkan bahwa emisi
gas rumah kaca dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini telah menaikkan suhu
bumi dengan 0,74 derajat di atas rata-rata suhu sebelum revolusi industri
meletus akhir abad ke 18 di Inggris. Pola pembangunan sejak itu menggunakan
energi batu-bara, minyak bumi dan gas yang semuanya melepaskan zamat cemar GRK.
Sebelum revolusi industri konsentrasi CO2 adalah 278 ppm untuk kemudian naik
dalam abad ke-20 ke tingkat 380 ppm. Terdapat korelasi antara (1) konsentrasi
emisi CO2e dengan (2) suhu bumi global rata-rata di atas tingkat pra-industri
serta (3) tahun memuncaknya CO2e. Konsentrasi emisi CO2e dengan tingkat 350-400
ppm akan merubah suhu dengan 2 – 2,4 derajat Celcius di atas tingkat pra
industri yang memuncak dalam tahun 2000-2015. Jika konsentrasi emisi CO2e naik
ke tingkat 400-440 ppm maka suhu berubah dengan 2,4 - 2,8 derajat Celcius
dalam masa tahun 2000-2020.
Jika ingin kita cegah agar suhu
bumi tidak meliwati tingkat kenaikan 2 – 2,4 derajat Celcius maka
tindakan harus diambil di tahun 2000 menurunkan emisi CO2e dengan 50%
dari tingkat tahun 2000 di 2050 nanti. Fokus usaha harus diletakkan mengurangi
laju kenaikan tingkat konsentrasi CO2e dengan merubah sumber pelepasan CO2e,
yakni penggunaan fossil fuel oleh energi, industri dan transportasi di
satu pihak dan menaikkan kemampuan daya serap CO2e oleh alam hijau dan hutan di
lain pihak.
Semua ini perlu karena
pembangunan telah mengganggu hukum sirkulasi alami. Semula sinar matahari
melewati lapisan udara yang renggang halangan masuk ke bumi dan memanaskannya.
Suhu panas bumi didinginkan oleh udara yang longgar menyerap panas bumi.
Industri, energi dan transportasi di masa itu banyak membakar fossil fuel yang
melepaskan GRK yang cemar. Laju pembangunan yang semakin kencang melepaskan
banyak GRK yang bertumpukan di udara. Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini
emisi GRK memadatkan ruang udara menjadikannya ”selimut” membungkusi bumi ini,
sehingga suhu bumi naik. Hukum sirkulasi alur alam terganggu dan ketika pola
pembangunan seperti ini berlanjur, lambat laun ”selimut bumi” menjadi begitu
tebal mampu menaikkan suhu bumi yang melelehkan gunung es di kutub
menjadi air mengalir ke laut. Molekul air laut akan memekar dan bersamaan
dengan mencairnya gumpalan es, permukaan laut akan naik mempengaruhi arus laut,
kehidupan perikanan dan membawa arus panas ke benua lain dan merubah iklim.
Jika pembangunan berlanjut dalam
pola business as usual maka suhu global bisa naik mencapai 3 derajat
Celcius dalam abad ke-21 ini. Karena itu kunci pencegahan naiknya suhu
global adalah merubah pola pembangunan konvensional ke sutainabilitas
pembangunan yang mengurangi emisi GRK berasal dari pembakaran fossi
fuel untuk energi, industri dan transportasi untuk kemudian berjalan di
atas jalur berkarbon rendah untuk memulihkan fungsi sirkulasi alam.
Sungguhpun pemimpin-pemimpin
dunia dalam Protokol Kyoto telah menyepakati pengendalian emisi GRK melalui
alur jalan pembangunan berkarbon-rendah dengan menerapkan science dan
technologi hijau lagi bersih, namun hasilnya tidak memuaskan.
Selama 1970-2004 emisi GRK
negara-negara industri peserta Protokol Kyoto telah naik dengan 70% yang
didorong oleh pertambahan pendapatan dan penduduk sehingga menaikkan
intensitas-energi dengan pencemaran dalam pertumbuhan produksi dan konsumsi.
Dengan pola pembangunan
konvensional membakar fossil fuel, emisi GRK akan naik dengan 40-110%
(2030). Bagian besar negara industri praktis tidak akan mencapai
sasaran emisi GRK sesuai Protokol Kyoto. Hanya Inggris, Jerman, Polandia
dan Russia diperkirakan mungkin mencapai sasaran Kyoto Protokol. Amerika
Serikat dan Australia yang secara bersama melepaskan emisi 38% dari total emisi
GRK global (1990) tidak meratifikasi Protokol Kyoto, sehingga tidak merasa
terikat dengan ketentuan menurunkan emisi GRKnya.
Emisi GRK negara berkembang
diperkirakan akan naik memenuhi kebutuhan pembangunannya. Namun emisi GRK per
kapita negara berkembang berada jauh dibawah emisi negara maju. Besarnya emisi
GRK yang dinyatakan dalam ton CO2e per kapita tahun 2004 negara maju adalah Amerika
Serikat (20), Australia (19), Kanada (18), Jepang (10) dibandingkan dengan
emisiton ton CO2e per kapita negara berkembang RRC (4), Brazil (1,8), Indonesia
(1,4), India (1) dan Bangladesh (0,3).
Kentaralah tinggi rendahnya
emisi CO2e berkaitan erat dengan tinggi rendahnya tingkat pendapatan. Semakin
tinggi pendapatan suatu negara semakin besar pula emisi CO2e- nya. Ini tidak
berarti negara berkembang sebaiknya tidak membangun agar tidak memperbesar
pencemaran GRK. Fakta ini berimplikasi bahwa negara berpendapatan rendah
seyogianya tidak mengikuti pola pembangunan negara maju menaikkan tingkat
pendapatannya dengan memperbesar pula emisi CO2e-nya. Dan bila pendapatan dan
emisi CO2e per kapita negara berkembang itu rendah, tidaklah ini berarti
menurunkannya di negara berkembang tidak urgen. Bahkan sebaliknya, justru
karena dampak negatifnya pada kehidupan penduduk negara berkembang sangat
besar, sangatlah penting mengusahakan pencegahan kenaikan emisi CO2e di negara
berkembang.
Naiknya suhu bumi akan meningkatkan
suhu permukaan laut. Suhu bumi yang naik dengan 1-3 derajat Celcius akan
mematikan kehidupan terumbu karang, menaikkan permukaan laut yang mengabrasi
pantai pesisir, menaikkan frekuensi banjir dan amukan angin taufan. Khususnya
kawasan delta, seperti Mahakam (Indonesia), Mekong (Thailand-Burna),
dan pulau-pulau rendah akan ditenggelamkan oleh air pasang lautan. Ribuan
pulau-pulau kecil Indonesia diperkirakan akan tenggelam dalam abad ke-21 ini.
Diperkirakan 20-30% species tumbuhan
dan hewan akan mati bila suhu mencapai 1,5-2,5 derajat Celcius. Dan ekosistem
akan punah. Dampak perobahan iklim pada kesehatanpun besar sekali. Penyakit
berkaitan dengan suhu panas, malaria, TBC dan penyakit rakyat lainnya akan
meningkat, terutama yang terletak di kawasan khatulistiwa bersuhu tropis.
Persediaan air akan naik di
lintas bumi tinggi (Kanada, Siberia) tetapi turun di lintas bumi rendah (Asia
dan Afrika kawasan tropis). Hasil padi, kacang-kacangan dan hasil pertanian
lainnya akan turun. Musim kemarau yang menyengat dan air tawar yang semakin
langka memukul produksi pertanian. Air di musim hujan melimpah ruah di bawa
banjir, namun di musim kemarau air menguap dalam alam kering gersang, sehingga
hewan, tanaman dan manusia menderita dehidrasi dan kekurangan air.
Jelas tampak dampak emisi GRK
yang melepas ke udara secara terus-menerus akan menaikkan suhu bumi dan merubah
iklim yang memukul kehidupan manusia. Dan dampak perubahan iklim lebih besar
bagi penduduk negara berkembang ketimbang bagi negara maju, karena rakyat
negara berkembang yang sudah rendah pendapatannya lebih rentan terhadap
goncangan yang ditimbulkan oleh luar dirinya, seperti dampak perubahan iklim.
Karena itu negara berkembang
sangat berkepentingan meredam perubahan iklim dan dengan aktif menurunkan emisi
GRK. Dan ini berarti merubah pola pembangunan dari alur konvensional ke alur
sustainabilitas pembangunan dengan penggunaan karbon seminimal mungkin untuk
memperkecil emisi GRK.
Sustainabilitas
Pembangunan berkarbon rendah
Faktor strategis dalam sustainabilitas
pembangunan adalah ”karbon”. Karena itu McKinsey mengembangkan ”Model
Produktifitas Karbon”. Apabila selama ini Produk Domestik Bruto Global (PDBG)
tumbuh dengan rata-rata 3,1% maka tercapai nilai US$ 41 trilliun (dalam nilai
dollar tahun 2000). Jika laju pertumuhan 3,1% per tahun ini berlanjut
diberlakukan ke tahun 2050 maka PDBG bisa mencapai US$ 146 trilliun
(pada harga konstan).
Emisi CO2e global diperkirakan
mencatat 40-45 GtCO2e (Gigaton atau 10 milyar ton CO2e (2000). Apabila perlu
penurunan sebesar 50% dari tingkat emisi CO2e sekarang untuk dicapai tahun 2050
nanti dengan jumlah penduduk sebesar 9 milyar jiwa, maka emisi CO2e perlu
turun dengan 2 – 3% emisi CO2e per kapita, terbagi atas negara maju turun dengan
80% dan negara berkembang turun dengan 20% dari emisi GRK sekarang.
Produktifitas karbon diukur
dengan PDBG per laju pertumbuhan emisi per tahun. Jika produktifitas karbon
sekarang mencapai US$ 740 per tCO2e maka di tahun 2050 dapat dicapai sasaran
US$ 7.300 per CO2e. Model Produktifitas Karbon ingin menunjukkan bahwa
pendapatan bisa naik dengan penurunan emisi CO2e. Dengan begitu maka strategi
sustainabilitas pembangunan perlu diarahkan pada usaha menaikkan PDBG
bersamaan dengan menurunkan laju pertumbuhan emisi CO2e per tahun.
Sehingga tercapai pola ”sustainabilitas pembangunan dengan penurunan
emisi CO2e”.
Strategi sustainabilitas
pembangunan berkarbon rendah ini menekankan produksi barang dan jasa pada pola
usaha: (1) minimalisasi sumber daya alam dan energi tak terbarukan; (2)
minimalisasi sumber daya terdaurkan; (3) minimalisasi limbah cair, gas dan
padat; (4) maksimalisasi sumber daya alam dan energi terbarukan; (5) ”reduce,
reuse, recycle, recover resources dan limbah; (6) maksimalisasi teknologi
”clean and green”; (7) optimalisasi ruang lahan spatial;
Benang merah dalam
sustainabilitas pembangunan ini mengkaitkan ecological-efficiency
dengan pertumbuhan berkarbon rendah.
Pola pembangunan ini dapat
diterapkan dalam sistem transportasi dengan mengutamakan pola
transportasi publik, angkutan kereta api, angkutan sungai, dan sistem motor
rendah karbon; sistem energi yang mengutamakan sumber berkarbon
rendah, seperti gas, angin, solar, matahari, tenaga geo thermal, tenaga air,
tenaga gelombang laut, generasi kedua bio-fue; sistem industri yang
sedapat mungkin saling memanfaatkan limbah yang terdaurkan dengan maksud
menurunkan intensitas energi per satuan barang dan jasa yang dihasilkan,
menerapkan standard internasional (ISO 9000 untuk kualitas, ISO 14.000 untuk
lingkungan dan ISO 26.000 untuk sosial); sistem konstruksi bangunan
yang sesuai dengan kondisi alam tropis memanfaatkan cahaya matahari, udara,
iklim tropis sewajar mungkin sehingga menghemat energi buatan; sistem
pembangunan kota dan spatial yang mengutamakan pola ”compact city”, mencegah
”urban sprawl”, mengusahakan daur air comberan, mengembangkan pola
hemat air cegah banjir mengalir ke laut; sistem pengembangan daerah aliran
sungai menyelamatkan air tawar bagi konsumsi penduduk, hewan dan
tumbuh-tumbuhan; sistem penyelamatan ekosistem laut, darat dan kehutanan untuk
meningkatkan daya serap CO2e. Ringkasnya kebijakan sustainabilitas pembangunan
memuat pengembangan sistem rendah karbon, sehingga sekaligus tercapai
peningkatan pendapatan dengan penurunan emisi GRK berkat usaha berkarbon
rendah.
Pola pembangunan ini adalah
sesuai dengan isi ”Konvensi tentang Perubahan Iklim” yang menekankan agar
negara maju memimpin usaha menurunkan emisi global CO2e dengan transfer
teknologi kepada dan membangun kapasitas di dalam negara berkembang disertai
pengalihan, pembiayaan dan penciptaan kondisi investasi yang memungkinkan
negara berkembang mencapai sasaran sustainabilitas pembangunannya bersamaan
dengan hasil ganda menurunkan emisi GRK. Bagi negara berkembang yang masih
harus bergelut dengan kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan, setiap nilai
uang perlu disalurkan untuk menurunkan kemiskinan bersamaan dengan usaha
menurunkan emisi GRK. Tetapi kemiskinan kini tidak lagi terbatas pada kemiskinan
ekonomi, tetapi juga kemiskinan non ekonomi.
Dalam Pertemuan PBB di New York
September 2000, masyarakat global sepakat membantu negara berkembang
menanggulangi kemiskinan dalam berbagai dimensi melalui kerjasama global
mencapai dalam abad ke-21 ini Millennium Development Goals (MDG) yang
mencakup:
Tujuan pertama,
menghapus kemiskinan ekstrim dan kelaparan dengan memotong dengan separoh
jumlah penduduk berpendapatan kurang dari satu dollar sehari dan penduduk yang
menderita kelaparan antara 1990-2015;
Tujuan kedua, pendidikan
dasar harus mencakup semua putera-puteri di tahun 2015;
Tujuan ketiga, kesamaan
jender dan pemberdayaan perempuan terutama dalam semua tingkat pendidikan agar
dicapai menjelang 2015;
Tujuan keempat, menurunkan
tingkat kematian anak dan tingkat kematian anak usia balita, ”bawah lima tahun”
(2015);
Tujuan kelima, tingkatkan
kesehatan ibu-melahirkan dengan menurunkan dengan 75% tingkat kematian ibu
melahirkan (2015);
Tujuan keenam, perangi
HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya agar terhenti tahun 2015 untuk kemudian
berbalik menghapuskannya;
Tujuan ketujuh, mengusahakan
sustainabilitas lingkungan dengan mengintegrasikan prinsip-prinsipnya dalam
kebijakan pembangunan negara sehingga bisa membalikkan kerusakan lingkungan;
Tujuan kedelapan, bina
kemitraan global bagi pembangunan dalam perdagangan, sistem keuangan termasuk ”good
governance”;
Tiap tujuan mempunyai garis awal
(1990) dan sasaran untuk dicapai di tahun 2015. Sasaran pokok utama adalah
menurunkan kemiskinan dengan 50% dari keadaan sekarang untuk dicapai 2015. Dan
tampaklah bagaimana penanggulangan kemiskinan erat berhubungan dengan masalah
ekonomi, sosial dan lingkungan yang saling berkaitan. Tidak cukup kemiskinan
hanya ditanggapi dari sudut ekonomi saja, tetapi memerlukan penanganan komprehensif
mencakup dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.
Metode mencapai sasaran pokok
ini tidak saja harus melalui jalur ekonomi, sosial dan lingkungan tetapi perlu
juga dikerjakan secara serentak meraih penurunan emisi GRK sebagai sasaran
lingkungan yang sekaligus juga merengut MDG sebagai sasaran sosial.
Bidang ekonomi memiliki cara
bekerja melalui pasar yang mempertemukan permintaan konsumen dengan penawaran
produsen. Permintaan konsumen ditentukan oleh skala preferensi yang mengurut
barang dan jasa menurut mekanisme harga yang ditawarkan dengan memperhitungkan
jumlah uang pendapatan yang dimiliki konsumen.
Begitu pula penawaran produsen
dipengaruhi oleh struktur biaya produksi dan pengadaannya per satuan output
yang dihadapkan dengan ”harga pasar”.
Kedua belah pihak produsen dan
konsumen mencapai keseimbangannya pada titik ekuilibirum harga yang
terbentuk dalam pasar. ”Harga” sekaligus mencerminkan ”nilai kelangkaan” barang
dan jasa dalam pasar ekonomi. Pada harga kelangkaan ini penawaran produsen
bertemu dengan permintaan konsumen pada titik ekuilibrium pasar.
Pasar ekonomi hanya bisa
menangkap isyarat jual produsen dan isyarat beli konsumen, tetapi tidak bisa
menangkap isyarat lingkungan dan sosial lainnya. Lingkungan adalah
milik publik yang sulit dipilah-pilah untuk memperoleh ”harga pasar ekonomi.”
Tidak ada pasar untuk pencemaran, keanekaragaman hayati, ekosistem dan produk
lingkungan lainnya. Karena produk lingkungan tidak punya ”harga” maka
juga tidak punya ”nilai”. Padahal kita tahu betapa besar nilai lingkungan bagi
kehidupan manusia dan alam. Terciptalah ”kegagalan pasar”, market failures,
pasar gagal menangkap isyarat dan nilai lingkungan. Akibat gagalnya pasar
menangkap nilai lingkungan maka terjadilah kerusakan, seperti pencemaran sungai,
laut, udara, pencurian kayu tebangan pohon.
Begitu pula tidak ada pasar
untuk produk sosial, seperti barang jasa kebutuhan publik, angkutan publik dan
ketidakadilan sosial. Tanpa pasar, tidak ada nilai dan tanpa nilai tidak ada
harga untuk produk sosial. Dan karena tidak berharga maka pengadaan produk dan
jasa sosial tersubordinasikan pada kepentingan ekonomi. Angkutan publik kalah
penyediaannya dengan angkutan privat, ranah publik terkalahkan oleh bangunan
mall dan perkantoran, rumah sakit publik kalah bersaing dengan rumah sakit
privat dan seterusnya, nilai-nilai sosial dikalahkan oleh nilai-nilai individu
dalam proses pembangunan masyarakat bangsa.
Kemudian secara institusional
dibalik harga pasar juga terdapat kelompok kepentingan yang mendukung usaha
produsen. Kelompok yang hidup dan bekerja disektor pertanian berkepentingan
dengan tercapainya ”harga baik” bagi kelompoknya. Kalangan industriawan
berkentingan mendorong usaha bidang industrinya. Kelompok pertambangan
berkepentingan dengan ”harga baik” bagi pelaku yang bekerja di sektornya. Maka
di balik pasar yang giat berusaha adalah juga ”kelompok kepentingan
sektor” dalam institusi sektor. Maka sering-sering harga pasar terbentuk berkat
peranan dan pengaruh institusi sektor. Egoisme sektor menjadi dominan, tidak
hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat internasional. Maka di dunia
internasional kita kenal institusi Dana Moneter Internasional yang bekerjasama
di tingkat nasional dengan Departemen Keuangan. International Labour
Organisation bekerjasama dengan Departemen Tenaga Kerja. World Trade
Organization dengan Departemen Perdagangan. World Health Organization dengan
Departemen Kesehatan. United Nations Environment Program dengan Kementerian
Lingkungan Hidup. Demikian seterusnya dari tingkat internasional sampai ke
nasional institusi pembangunan dipilah-pilah menurut kepentingan sektor. Tidak
ada institusi lintas sektor di tingkat internasional dan nasional yang
mengembangkan pembangunan secara holistik merobohkan dinding dan egoisme sempit
sektor. Pada hal pembangunan memerlukan pendekatan holistik lintas sektor.
Maka pelaku pasar menderita
”kegagalan institusi”, institutional failure, gagal menyusun institusi
yang bisa menampung aspirasi lintas sektor dan mengemban pola pembangunan
holistik. Sehingga institusi ”gagal” mengungkapkan kepentingan umum
dalam pasar dan tenggelam dalam pertarungan antar kelompok kepentingan diri dan
sektor. Pasar menderita ”kegagalan institusional” dalam menangkap kebutuhan
publik yang lenyap ditelan oleh kepentingan privat sempit.
Peranan pasar diperparah dengan
kebijakan policy yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat umum,
tetapi cenderung menguntungkan kepentingan dan golongan tertentu.
Ketika Partai Republik berkuasa
di Amerika Serikat dan memilih Presiden George Bush, lahirlah
rangkaian kebijakan yang mengutamakan kelompok bisnis pendukung Partai
Republik, termasuk bisnis minyak, gas dan batu-bara. Dalam kerangka kebijakan
ini, Protokol Kyoto dengan pembatasan emisi GRK untuk mencegah timbulnya perubahan
iklim, secara terang-terangan ditantang oleh Presiden Amerika Serikat. Sehingga
Amerika Serikat tidak menandatangani protokol dan tidak mau ikut serta dalam
usaha pengendalian emisi GRK. Pasar ekonomi tidak bisa mengoreksi kebijakan
yang tidak menguntungkan usaha pencegahan perubahan iklim.
Juga di dalam negeri sering kita
temukan langkah kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan konsumen berduit
ketimbang kepentingan masyarakat, seperti tercermin pada kegandrungan politisi
mengutamakan ”jalan tol antar propinsi” ketimbang ”jalan desa dan kecamatan”
terutama di pedalaman. Begitu pula dengan mengutamakan ranah publik untuk Mall
dan perkantoran ketimbang untuk taman terbuka bagi rakyat kecil. Ada kebijakan
yang gagal, policy failures, mempengaruhi pelaku pasar untuk memenuhi
kepentingan sosial dan lingkungan melalui mekanisme pasar.
Peranan Legislasi Hukum
Maka tampaklah pasar memang
berguna memecahkan masalah ekonomi, namun fungsi pasar terganjal oleh
”kegagalan pasar” (market failures), ”kegagalan institusi” (institusional
failures) dan ”kegagalam kebijakan” (policy failures). Menghadapi
kenyataan ini tampillah keperluan campur tangan Pemerintah untuk
mengoreksi berbagai kegagalan ini agar pasar dapat difungsikan menemukan titik
ekuilbrium sebagai pencerminan terpenuhinya secara holistik berbagai
kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan sekaligus. Untuk ini
Pemerintah dapat menggunakan berbagai instrumen sebagai berikut:
Pertama,Pemerintah
menyelenggarakan pendidikan, mengembangkan sistim nilai dan mempengaruhi
perilaku pelaku pasar, baik produsen dan konsumen, untuk bisa mengambil
keputusan yang sesuai dengan harkat sustainabilitas pembangunan. Termasuk
disini juga usaha memberi informasi obyektif kepada pelaku pasar agar dapat
disimak sebelum mengambil keputusan. Inti pokok tahapan ini adalah memperluas
wawasan pelaku pasar agar bisa menerapkan penyelarasan pandangan ekonomi,
sosial dan lingkungan menunjang pola sustainabilitas pembanguan rendah karbon.
Kedua, dengan sistem
insentif, memberi perangsang sehingga mempengaruhi perilaku pelaku pasar yang
disalurkan melalui perpajakan, subsidi dan tanda kehormatan sehingga
menimbulkan gairah untuk merubah perilaku sesuai dengan maksud Pemerintah. Maka
bila ingin dikehendaki agar pelaku pasar mengalokasikan lebih banyak sumber
daya ke bidang sosial atau lingkungan, perlu dikembangkan sistem insentif yang
merangsang pelaku pasar melakukannya. Sebaliknya jika ingin kita cegah polusi
dan pencemaran sungai, maka sistem pungutan retribusi dapat mencegahnya.
Rangsangan juga diberikan untuk mendorong memasukan, internalisasi
biaya merusak lingkungan ke dalam struktur biaya perusahaan sehingga
tercipta keinginan mengurangi biaya dengan mencegah kerusakan lingkungan.
Ketiga menerapkan
penalti hukum yang dikenakan pada mereka yang melanggar peraturan merusak
lingkungan atau kehidupan sosial. Semakin besar kerusakan yang ditimbulkannya,
semakin tinggi penalti hukum. Untuk ini perlu dikembangkan legislasi hukum
sebagai referensi tindakan hukum. Namun sungguhpun legislasi hukum sudah
memadai, masih diperlukan pranata ”good governance” sebagai
pelaksananya yang bisa diandalkan.
Keempat adalah persuasi
moral dengan menyentuh moralitas dan etika manusia melalui kesadaran beragama
manusia untuk berbuat baik bagi kehidupan sosial, ”amar ma’ruf, nahi munkar”.
Dan sekaligus juga menyadarkan manusia mengemban tugas yang dilimpahkan Allah
s.w.t. kepadanya selaku khalifah di muka bumi memelihara lingkungan
alam semesta beserta segala isinya.
Kelima adalah ”tekanan
publik” berupa demonstrasi, rapat akbar, petisi, desakan pada parlemen dan
lain-lain ikhtiar membangkitkan dukungan masyarakat pada isu-isu agar bisa
diperjuangkan oleh lembaga-lembaga resmi. Acapkali lembaga resmi, termasuk
Dewan Perwakilan Rakyat, lalai menangkap aspirasi masyarakat, sehingga perlu
sentakan publik.
Demikianlah lima langkah usaha
yang bisa ditempuh untuk mengoreksi berbagai kegagalan pasar, kegagalan
institusi dan kegagalan kebijakan. Yang paling mudah dan lazim dilakukan
pemerintahan di berbagai negara mengambil lima langkah ini adalah dengan
”komando dan kontrol”. Mengkomandokan apa yang perlu diperbuat masyarakat untuk
kemudian diawasi pelaksanaannya dengan wewenang kekuasaan Pemerintah. Pola
komando dan kontrol efektif memerlukan pemerintahan otoriter kuat didukung
aparat yang mampu melaksanakannya secara tegas dan berwibawa. Bagi Indonesia
yang tersebar luas dari Sabang ke Merauke dalam jarak serupa dari London,
Inggris ke Kairo, Mesir, dengan jumlah penduduk lebih dari 225 juta jiwa, terasa
sulit untuk menerapkan pola komando dan kontrol ini. Lagi pula pola ini sudah
tidak lazim lagi dalam sistem politik dunia global ini. Maka sangatlah penting
menerapkan sistem pemerintahan demokrasi memanfaatkan pasar yang dikelola, managed
market.
Sistem demokrasi dengan memberi
wewenang lebih ke tangan rakyat, memang lebih sulit dalam mengelola negara,
namun lebih adil dalam ikhtiar mengejar kesejahteraan rakyat. Dalam sistem
demokrasi ini, efektifitas pasar mengalokasi sumber daya untuk pembangunan dilengkapi
dengan intervensi Pemerintah mempengaruhi perilaku pelaku pasar memenuhi
permintaan masyarakat akan kebutuhan ekonomi, sosial dan lingkungan.
Sistem demokrasi memuat ”check
and balances” sehingga intervensi Pemerintah secara langsung bisa diawasi
dan diperbaiki oleh lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Baik pengembangan kehidupan
demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi memerlukan legislasi perundangan
yang kuat sebagai kerangka referensi hukum bagi pembangunan.
Sumber hukum utama bagi
sustainabilitas pembangunan adalah ”Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)” yang mengalami perubahan amandemen
dari 1999 hingga 2002. Undang-Undang ini memuat perubahan kekuasaan dari konsentrasi
wewenang yang berat berada di tangan Pemerintah, ke dekonsentrasi bergeser
lebih banyak ke tangan lembaga negara yang dipilih rakyat, seperti Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat di propinsi dan kabupaten.
UUD NRI Tahun 1945 juga beralih
dari pola pemerintahan yang tersentralisasi menjadi desentralisasi
ke Gubernur/Kepala Pemerintahan Provinsi yang dipilih langsung oleh rakyat
untuk lingkungan propinsi dan Bupati/Kepala Daerah Kabupaten juga dipilih
langsung untuk lingkungan kabupaten.
Hak warga negara yang semula
dalam UUD NRI Tahun 1945 (18 Agustus 1945) hanya mencantumkan satu Pasal 28
”untuk bebas berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan” kini menjadi satu bab XA tentang hak asasi manusia yang
terjabarkan dalam 10 Pasal baru dan tersendiri. Sehingga jelas tercermin
peningkatan hak warga yang lebih kuat dalam UUD NRI Tahun 1945 ketimbang dengan
UUD 1945 Agustus 1945 lalu.
UUD NRI Tahun 1945 juga
menyesuaikan sistim ekonomi dengan perkembangan zaman dan menambah dalam Pasal
33 ayat (4) bahwa ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Di lain pihak UUD NRI Tahun 1945
telah menghapus ”Penjelasan” dari UUD 1945. Mungkin atas pertimbangan bahwa
”Penjelasan” bukan hasil kesepakatan yang dicapai sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia. Dengan hilangnya ”Penjelasan” maka lenyap pula muatannya bahwa
”Dalam Pasal 33 ini tercantum dasar demokrasi ekonomi. Produksi dikerjakan oleh
semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.”
Namun UUD NRI Tahun 1945 tetapi
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan berbagai prinsip, antara lain prinsip berkelanjutan
(sustainabilitas) berwawasan lingkungan sehingga sudah bisa
menjadi ”payung” bagi pengembangan legislasi hukum.
Secara berturut-turut telah
dilahirkan sejak tahun 1982 UU tentang pengelolaan lingkungan, penataan ruang
dan seterusnya hingga sekarang. Menarik bahwa isi UU ini tidak hanya tertuju
pada apa yang masyarakat harus laksanakan, tetapi lebih-lebih sebagai petunjuk
bagi pemerintah dalam melaksanakan dalam sustainabilitas pembangunan.
Sungguhpun ”payung” menyusun
legislasi perundang-undangan sudah tersedia, namun ini tidak menjamin
tersusunnya legislasi yang baik dan bertanggung-jawab. Kita terutama menghadapi
masalah serius dalam ”institutional failures”. Setelah reformasi maka
susunan kabinet terdiri dari pemimpin-pemimpin politik yang gandrung
mengutamakan kewenangan dan jurisdiksi departemennya. Hal ini terungkap dalam
wujud banyak UU sektor yang disusun masing-masing departemen, seperti Kehutanan,
Pertambangan, Penataan Ruang, dan seterusnya. Terlalu kentara egoisme sektor
dan tidak tampak wawasan holistik lintas sektor dan lintas departemen dalam isi
peraturan perundangan yang disusun departemen. Kenyataan menunjukkan bahwa
produk-produk hukum seperti Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri tidak
konsisten dengan Peraturan Pemerintah ataupun Undang-Undang. Yang menonjol
adalah tidak adanya rencana legislasi perundang-undangan yang komprehensif
mencerminkan keterkaitan antar sektor dan mampu menanggapi tantangan
pembangunan masa depan/
Yang paling urgen perlu
dilaksanakan adalah adanya ”clearing house” yang terpusat dibawah
Presiden untuk bisa mensinkronkan berbagai peraturan perundang-undangan agar
konsisten satu dengan lain. Justru dalam alam demokrasi dengan kabinet yang
kini mencakup menteri dari partai politik, sangatlah penting agar kepentingan
politik disubordinasikan pada kepentingan bangsa, negara dan tanah air.
Sehingga dalam rangka
meningkatkan mutu legislasi perundangan, sangatlah penting untuk menertibkan institutional
failuers sebagai prasyarat mengoreksi ”policy failures” menanggapi
tantangan sustainabilitas pembangunan yang multi kompleks ini.
Tantangan pembangunan masa depan
sangat kompleks mencakup dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Tantangan
dunia sangat besar berupa ancaman perubahan iklim, erosi keanekaragaman
hakyati, kemiskinan, ketidak adilan sosial dan krisis ekonomi global.
Untuk menanggapinya diperlukan
kearifan dan kemampuan berwawasan pandangan ke depan membangun legislasi
perundang-undangan yang relevan membangun bangsa, negara dan tanah air di atas
jalur sustainabilitas pembangunan berkarbon rendah dan berujung pada
tercapainya sasaran Millennium Development Goals.
Biodata Penulis:
Emil Salim, putera Baay Salim,
lahir di Lahat Sumatera Selatan, 8 Juni 1930 menamatkan SMA di Bogor, Jawa
Barat untuk belajar meraih Ph.D pada Universitas California, Kampus Berkeley,
USA, 1964 dan kemudian pulang ke tanah air untuk kerja selaku dosen pada
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1964 hingga sekarang). Dalam perjalanan
hidup, ditugaskan dalam Pemerintah selaku Menteri Negara Penertiban Aparatur
Negara merangkap Wakil Ketua Bappenas, Menteri Perhubungan, Telekomunikasi dan
Parawisata, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup dan
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam masa 1970-1993. Sejak
pensiun aktif dalam lembaga swadaya masyarakat Yayasan Keanekaragaman Hayati,
Yayasan Pembangunan Berkelanjutan, Lembaga Eko-label, dan lain-lain. Keluarga
Emil Salim terdiri dari isteri, Roosminnie Salim, dan dua anak putera-puteri
serta 4 cucu.
0 komentar:
Posting Komentar